Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan komputasi global meningkat secara eksponensial, seiring meledaknya popularitas kecerdasan buatan (AI), pemrosesan big data, dan layanan cloud yang terus tumbuh. Namun, dibalik kecanggihan teknologi ini, ada harga yang harus dibayar dalam bentuk konsumsi energi dan sumber daya air yang masif. Tiongkok, sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan teknologi tercepat di dunia, menjawab tantangan tersebut dengan cara yang tidak biasa: membangun pusat data di bawah laut. 

Di lepas pantai Provinsi Hainan, Tiongkok telah resmi mengoperasikan salah satu pusat data bawah laut pertama yang dirancang untuk kebutuhan komputasi modern. Berbentuk silinder besar menyerupai “batu bata laut”, setiap unit modular ini menampung lebih dari 400 server dan mampu menangani hingga 7.000 permintaan AI per detik—setara dengan ribuan komputer berperforma tinggi yang bekerja bersamaan. Menariknya, suhu laut yang stabil digunakan sebagai sistem pendingin alami, menggantikan kebutuhan akan sistem AC konvensional atau pendingin berbasis air tawar yang biasa ditemukan di pusat data daratan. Strategi ini bukan hanya inovatif dari sisi teknis, tetapi juga sangat efisien secara energi dan ramah lingkungan. Menurut laporan Data Center Dynamics, efisiensi energi yang dihasilkan oleh sistem ini mampu menghemat lebih dari 122 juta kilowatt-jam listrik per tahun dan mencegah penggunaan ribuan ton air tawar. 

Sumber : https://nspirement.com/2025/07/02/chinas-underwater-data-center 

Langkah ini menjadi sangat relevan ketika dibandingkan dengan tantangan yang sedang dihadapi perusahaan seperti OpenAI. Dalam laporan yang sempat mencuat tahun 2023, disebutkan bahwa untuk setiap 20 hingga 50 pertanyaan yang diajukan pengguna ke ChatGPT, sistem AI tersebut menggunakan sekitar 500 mililiter air untuk pendinginan servernya. Artinya, secara kasar, dibutuhkan 50 mililiter air untuk menangani satu permintaan pengguna. Meski angka ini bisa bervariasi tergantung lokasi dan jenis sistem pendinginan, kenyataan bahwa layanan AI skala besar dapat mengonsumsi air dalam jumlah besar menimbulkan kekhawatiran baru terkait keberlanjutan teknologi. Terlebih lagi, banyak pusat data saat ini masih bergantung pada pendinginan berbasis air dalam sistem terbuka, yang menguapkan air tawar ke atmosfer dan tidak bisa digunakan kembali. 

Di sinilah pusat data bawah laut Tiongkok memberikan jawaban yang potensial. Dengan menggantikan sistem pendingin berbasis air tawar dengan air laut yang alami dan konsisten, solusi ini tidak hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga secara drastis menekan jejak air dari sistem komputasi intensif. Selain itu, pendekatan modular memungkinkan skalabilitas tanpa perlu menambah penggunaan lahan darat, yang sudah padat di banyak wilayah pesisir. Teknologi semacam ini bahkan dirancang untuk menggunakan sumber energi terbarukan seperti tenaga angin lepas pantai, sebagaimana sedang dikembangkan di proyek serupa di Shanghai. Dengan Power Usage Effectiveness (PUE) ditargetkan di bawah 1,15, pusat data ini menandai langkah besar menuju infrastruktur digital yang benar-benar berkelanjutan. 

Sumber : https://nspirement.com/2025/07/02/chinas-underwater-data-center 

 

Tentu saja, proyek seperti ini tidak lepas dari tantangan. Korosi akibat air laut, tekanan tinggi di kedalaman, serta risiko pertumbuhan organisme laut pada permukaan modul menjadi perhatian tersendiri. Namun, para insinyur Tiongkok telah merancang sistem anti-korosi canggih dan mekanisme hot-swap modular, yang memungkinkan penggantian unit tanpa mengganggu keseluruhan sistem. Ini menjawab masalah yang dihadapi proyek serupa sebelumnya, seperti Microsoft Natick, yang meskipun membuktikan efisiensi pusat data bawah laut, terkendala dalam proses pemeliharaan jangka panjang. 

Dengan semakin kompleksnya kebutuhan komputasi di era AI, inovasi semacam ini menjadi semakin penting. Di satu sisi, perusahaan seperti OpenAI, Google, dan Amazon dituntut untuk memberikan layanan AI generatif yang responsif dan cerdas. Di sisi lain, publik dan pembuat kebijakan mulai menuntut akuntabilitas lingkungan dari infrastruktur digital yang mendasari layanan tersebut. Konsumsi air dan energi menjadi dua isu sentral dalam diskusi tentang masa depan teknologi yang berkelanjutan. 

Oleh karena itu, pusat data bawah laut Tiongkok bukan sekadar keajaiban teknis, tetapi juga menjadi simbol perubahan paradigma dalam membangun sistem komputasi masa depan. Teknologi ini memperlihatkan bahwa kita bisa tetap berkembang dan mendorong batas-batas inovasi, tanpa harus mengorbankan sumber daya alam yang berharga. Lebih dari itu, pendekatan ini membuka diskusi baru tentang bagaimana AI dan infrastruktur digital bisa dirancang tidak hanya untuk efisiensi teknis, tetapi juga untuk keberlanjutan jangka panjang. 

Melihat ke depan, negara-negara lain—terutama yang memiliki garis pantai luas seperti Indonesia—dapat menjadikan model ini sebagai inspirasi. Dengan gabungan antara efisiensi energi, penghematan air, dan kemampuan skalabilitas yang tinggi, pusat data bawah laut dapat menjadi fondasi infrastruktur digital abad ke-21. Ketika permintaan akan AI terus meningkat, pertanyaan pentingnya bukan hanya tentang seberapa cepat atau cerdas sistem yang kita bangun, tetapi juga seberapa bijak kita mengelolanya untuk masa depan bumi dan generasi yang akan datang.

 

Penulis

Fiqri Ramadhan Tambunan (FDP Scholar)

 

Referensi :

https://www.scmp.com/news/china/science/article/3299313/chinas-subsea-data-centre-could-power-7000-deepseek-conversations-second-report

https://www.euronews.com/green/2023/04/20/chatgpt-drinks-a-bottle-of-fresh-water-for-every-20-to-50-questions-we-ask-study-warns

 https://www.datacenterdynamics.com/en/news/chinas-underwater-data-center-expanded