HUMAN–AI TEAMING SEBAGAI MODEL KERJA BARU DI ERA DIGITAL
Pertanyaan klasik “Apakah AI akan menggantikan manusia?” sudah lama mewarnai diskusi tentang masa depan teknologi dan pekerjaan. Kekhawatiran ini muncul karena banyak tugas rutin yang kini dapat digantikan oleh algoritma cerdas dan sistem otomatis. Namun, narasi tersebut perlahan berubah. Dengan kemajuan yang pesat dalam bidang Artificial Intelligence (AI), mulai dari analisis data hingga kemampuan adaptif, fokus pertanyaan kini bergeser menjadi “Bagaimana manusia dan AI dapat bekerja sama secara efektif?” (Schmutz et al., 2024).
Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada konsep Human–AI Teaming (HAT). Alih-alih menempatkan manusia dan AI dalam posisi kompetitif, HAT memandang keduanya sebagai mitra sejajar yang dapat saling melengkapi. Manusia membawa intuisi, empati, kreativitas, dan pertimbangan etis, hal-hal yang sulit ditiru oleh mesin. Sebaliknya, AI unggul dalam kecepatan analisis data, kemampuan bekerja pada skala besar, serta adaptasi dinamis terhadap situasi yang berubah dengan cepat. Kombinasi inilah yang menjadikan HAT lebih dari sekadar otomatisasi, melainkan bentuk kolaborasi baru yang berpotensi merevolusi cara kita bekerja di berbagai sektor, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga pemerintahan (Baretta et al., 2023).
Memahami Human-AI Teaming
HAT didefinisikan sebagai kolaborasi antara manusia dengan setidaknya satu agen otonom yang memiliki derajat kemandirian dalam mengambil keputusan, beradaptasi, dan berkomunikasi (Schmutz et al., 2024). Dalam konteks ini, AI tidak lagi dipandang sebagai sekadar alat bantu, melainkan anggota tim dengan peran aktif. Ia dapat memantau, memberi rekomendasi, hingga mengambil alih sebagian fungsi koordinasi. Berretta et al. (2023) menekankan bahwa pendekatan ini mengubah cara kita memahami “tim” itu sendiri, karena kini mencakup entitas non-manusia yang memiliki kapasitas kognitif berbeda namun mampu berinteraksi untuk tujuan bersama.
Source: Bienefeld et al. (2023)
Gambar ini mengilustrasikan konsep shared mental model dalam HAT. Intinya, pengetahuan manusia dan agen AI tidak berdiri sendiri, tetapi saling bertukar informasi untuk membangun pemahaman kolektif (Bienefeld et al., 2023). Misalnya, manusia mungkin lebih kuat dalam memahami konteks sosial dan tujuan jangka panjang, sementara AI unggul dalam analisis data cepat dan pola tersembunyi. Dengan membentuk team mind yang terpadu, keduanya bisa mengantisipasi tindakan satu sama lain, meminimalkan miskomunikasi, dan mempercepat koordinasi. Interpretasi gambar ini menunjukkan bahwa keberhasilan HAT tidak hanya bergantung pada kecanggihan teknologi, tetapi juga pada sejauh mana kedua pihak bisa berbagi model kognitif bersama yang memungkinkan kolaborasi sejati.
Mendefinisikan Ulang Kolaborasi
Pada praktik konvensional, AI biasanya hanya digunakan sebagai alat otomatisasi yang menjalankan instruksi atau sebagai sistem pendukung keputusan yang membantu manusia mengambil pilihan lebih cepat. Namun, paradigma HAT menuntut redefinisi kolaborasi yang lebih kompleks. Di sini, AI tidak lagi terjebak pada peran pasif, melainkan mampu berbagi tanggung jawab dengan manusia secara dinamis. Hal ini berarti peran manusia dan AI bisa berubah secara real-time sesuai konteks. Misalnya, dalam situasi darurat seperti kebakaran, AI dapat bertindak sebagai analis cepat yang menyaring ribuan data sensor untuk mendeteksi titik api, sementara manusia menilai aspek sosial dan etis, seperti prioritas evakuasi kelompok rentan (Williams, 2024). Dengan begitu, hasil yang tercapai bukan sekadar efisiensi, melainkan keputusan yang lebih utuh karena menggabungkan kecepatan mesin dengan kebijaksanaan manusia. Prinsip utama dari redefinisi kolaborasi ini meliputi:
- Peran dinamis: Manusia atau AI bisa berganti posisi sesuai tingkat kompleksitas tugas.
- Adaptasi real-time: AI harus mampu merespons perubahan konteks dengan cepat.
- Transparansi: manusia perlu memahami alasan di balik kontribusi AI untuk membangun kepercayaan (Fraraccio, 2025).
Source: Dykes (2025) via Forbes
Matriks ini mengilustrasikan spektrum peran yang bisa dimainkan manusia dan AI dalam sebuah tim. Pada level paling dasar, ada automate, di mana AI mengambil alih tugas-tugas sederhana yang berulang sehingga manusia bisa fokus pada pekerjaan yang bernilai lebih tinggi. Selanjutnya, di tingkat augment, AI berperan memperkuat kapasitas manusia, misalnya dengan memberi rekomendasi berbasis analisis data. Pada tingkat evaluate, AI berfungsi sebagai evaluator atau pemberi umpan balik, membantu manusia menguji keputusan atau menilai efektivitas strategi. Sementara di level tertinggi, lead, AI dapat mengambil alih peran dominan dalam tugas yang sangat kompleks, seperti mengatur lalu lintas udara secara otomatis, dengan manusia tetap berperan sebagai pengawas dan pengambil keputusan akhir.
Interpretasi dari matriks ini menunjukkan bahwa HAT bersifat spektrum, bukan dikotomi. AI tidak selalu harus menjadi pemimpin atau pengikut, posisinya bisa berubah sesuai kebutuhan konteks. Justru fleksibilitas inilah yang membuat kolaborasi menjadi lebih kaya karena memungkinkan manusia dan AI untuk saling mengisi kekosongan kemampuan masing-masing. Dengan kata lain, keberhasilan HAT ditentukan oleh bagaimana tim mampu memanfaatkan variasi peran ini untuk menciptakan keseimbangan antara efisiensi teknologi dan kebijaksanaan manusia.
Kecerdasan Adaptif di Lingkungan Mixed-Reality
Kemajuan dalam Reinforcement Learning memungkinkan AI untuk belajar dari pengalaman secara terus-menerus dan menyesuaikan tindakannya dalam konteks yang berubah dengan cepat. Ketika dikombinasikan dengan simulasi berbasis mixed-reality, kemampuan ini memberikan peluang besar dalam meningkatkan efektivitas HAT. Dalam studi simulasi darurat, meskipun HAT sering menghadapi tantangan koordinasi dan miskomunikasi, adaptivitas AI terbukti membantu memperbaiki situational awareness. AI dapat memproses data sensor, memprediksi pola kebakaran atau penyebaran bencana, lalu menyajikan informasi tersebut kepada manusia dalam bentuk rekomendasi strategis yang lebih mudah dipahami (Schmutz et al., 2024).
Contoh nyata dapat dilihat pada sistem pelatihan berbasis VR untuk tanggap bencana. Pada skenario ini, AI digunakan untuk memprediksi jalur evakuasi paling aman berdasarkan data lingkungan, sementara responden manusia berperan menilai aspek sosial, seperti memastikan kelompok rentan dievakuasi lebih dahulu. Sinergi ini tidak hanya meningkatkan realisme pelatihan, tetapi juga melatih manusia untuk mengambil keputusan di bawah tekanan dengan dukungan analisis AI. Dengan kata lain, kombinasi antara kecepatan analitik AI dan intuisi sosial manusia menciptakan pengalaman belajar yang lebih imersif, efektif, dan mendekati kondisi nyata di lapangan.
Kecerdasan Kolektif dalam Open Science
HAT bukan hanya soal meningkatkan efisiensi kerja, tetapi juga memperkuat kecerdasan kolektif. Konsep ini sering disebut sebagai Collective Human–Machine Intelligence (COHUMAIN), yakni bentuk kecerdasan baru yang muncul dari sinergi manusia dan AI. Alih-alih bekerja secara terpisah, manusia dan mesin dapat berkolaborasi untuk menggabungkan kelebihan masing-masing, yaitu kreativitas, intuisi, dan konteks sosial dari manusia, serta kemampuan analitik, konsistensi, dan pemrosesan berskala besar dari AI. Hasilnya adalah sistem pengetahuan yang lebih kaya, lebih akurat, dan lebih adaptif terhadap perubahan (Schmutz et al., 2024). Beberapa contoh nyata yang mencerminkan penerapan kecerdasan kolektif adalah sebagai berikut:
- Wikipedia & GitHub: Di platform ini, manusia menyumbangkan ide, menulis, atau mengembangkan kode, sementara AI membantu menjaga kualitas, mendeteksi anomali, dan bahkan merekomendasikan perbaikan. Kolaborasi ini memastikan kualitas konten terjaga sekaligus terus berkembang.
- Citizen Science: Pada proyek ilmiah yang melibatkan sukarelawan, AI mampu mengolah data dalam jumlah massif, misalnya data observasi lingkungan atau astronomi, sementara relawan manusia bertugas memvalidasi hasil yang tidak selalu bisa diinterpretasikan oleh mesin.
- Hybrid Models: Model hybrid yang menggabungkan kecerdasan manusia dan efisiensi algoritmik terbukti efektif dalam riset berskala besar. Misalnya, AI dapat mempercepat analisis genom, sedangkan ilmuwan memberikan interpretasi biologis yang lebih kontekstual.
Dari berbagai contoh tersebut, terlihat jelas bahwa collective intelligence jauh lebih kuat daripada upaya individu, baik manusia maupun AI, jika bekerja sendiri. Sinergi ini tidak hanya mempercepat proses produksi pengetahuan, tetapi juga memastikan kualitas dan relevansi tetap terjaga. Dengan kata lain, open science yang ditopang oleh HAT mampu membuka jalan menuju model riset yang lebih inklusif, transparan, dan kolaboratif.
Mengatasi Tantangan Human-AI Teaming
Meskipun HAT menjanjikan kolaborasi strategis yang bisa mengubah cara kita bekerja, ada sejumlah tantangan utama yang harus diatasi agar sinergi ini bisa berjalan efektif. Tantangan-tantangan ini menyangkut aspek psikologis, teknis, hingga organisasi, yang semuanya saling berkaitan dalam membentuk kualitas kerja sama manusia dan AI. Beberapa tantangan utama yang sering muncul dalam implementasi HAT Adalah sebagai berikut:
- Trust: Kepercayaan manusia terhadap AI cenderung menurun seiring waktu. Pada awalnya, ekspektasi terhadap AI sering terlalu tinggi, tetapi ketika hasil yang diberikan tidak sesuai harapan, kepercayaan itu dapat menurun drastis (Schmutz et al., 2024). Hal ini bisa membuat manusia ragu untuk terus mengandalkan AI.
- Transparansi & Explainability: Banyak sistem AI modern bekerja seperti black box, memberikan rekomendasi tanpa penjelasan jelas tentang dasar logikanya. Hal ini menyulitkan manusia untuk memahami dan menerima hasil AI sehingga diperlukan eXplainable AI (XAI) agar keputusan AI bisa lebih transparan.
- Cold Start Problem: Pada tahap awal interaksi, manusia biasanya enggan mempercayai AI karena belum ada pengalaman bersama. Rasa ragu ini dapat menghambat efektivitas kerja sama. Untuk mengatasi hal tersebut, organisasi perlu menciptakan pelatihan dan komunikasi yang mendorong interaksi positif sejak awal (Williams, 2024).
Tantangan-tantangan ini bukan berarti menghalangi masa depan HAT, tetapi justru menjadi panduan tentang apa yang harus dibangun. Dengan meningkatkan transparansi, menyediakan teknologi XAI, serta menempatkan AI sebagai penguat kapasitas manusia alih-alih menggantikannya sehingga kepercayaan dan kenyamanan pengguna dapat tumbuh (Fraraccio, 2025). Pada akhirnya, mengatasi hambatan ini akan membuat HAT lebih berkelanjutan dan memberikan nilai nyata bagi organisasi maupun masyarakat.
Kesimpulan
Human–AI Teaming (HAT) adalah representasi dari evolusi besar dalam hubungan manusia dengan teknologi. Jika dulu AI dipandang sekadar sebagai alat otomatisasi yang mengambil alih pekerjaan rutin, kini ia berkembang menjadi rekan kerja strategis yang mampu berbagi beban kognitif (cognitive load sharing), memperkuat proses pengambilan keputusan, dan memperluas kapasitas kolektif manusia. Konsep ini dikenal sebagai age of collaboration, di mana manusia dan AI bekerja berdampingan, bukan saling menggantikan. Sinergi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga membuka peluang inovasi baru yang sebelumnya tidak mungkin dicapai ketika manusia atau AI bekerja sendiri.
Namun, untuk mewujudkan potensi ini, fondasi kolaborasi harus dibangun di atas tiga pilar utama, yaitu kepercayaan, transparansi, dan tujuan bersama. Tanpa kepercayaan, manusia akan ragu untuk mengandalkan AI. Tanpa transparansi, manusia akan kesulitan memahami keputusan AI. Terakhir, tanpa tujuan bersama, sinergi akan kehilangan arah. Jika ketiga elemen ini dipenuhi, HAT berpotensi menjadi standar baru dalam organisasi, pemerintahan, maupun kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, masa depan dunia kerja bukan lagi tentang manusia melawan AI, melainkan tentang bagaimana manusia dan AI dapat bersama-sama menciptakan nilai yang lebih besar bagi masyarakat.
Penulis
Satriadi Putra Santika S.Stat., M.Kom
FDP Scholar
Daftar Pustaka
Berretta, S., Tausch, A., Ontrup, G., Gilles, B., Peifer, C., & Kluge, A. (2023). Defining human-AI teaming the human-centered way: A scoping review and network analysis. Frontiers in Artificial Intelligence, 6. https://doi.org/10.3389/frai.2023.1250725.
Bienefeld, N., Kolbe, M., Camen, G., Huser, D., & Buehler, P. K. (2023). Human-AI teaming: leveraging transactive memory and speaking up for enhanced team effectiveness. Frontiers in Psychology, 14. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1208019.
Dykes, B. (2025). The Human-AI Playbook: Moving Beyond Automation to True Collaboration. Forbes. https://www.forbes.com/sites/brentdykes/2025/03/10/the-human-ai-playbook-moving-beyond-automation-to-true-collaboration/. Diakses 1 September 2025.
Fraraccio, M. (2025). Human-AI Teaming: How to Collaborate Effectively with Artificial Intelligence. US Chamber of Commerce https://www.uschamber.com/co/run/technology/human-ai-teaming. Diakses 1 September 2025.
Schmutz, J. B., Outland, N., Kerstan, S., Georganta, E., & Ulfert, A.-S. (2024). AI-teaming: Redefining collaboration in the digital era. Current Opinion in Psychology, 58:101837. https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2024.101837.
Williams, J., (2024). Human-AI Teaming in the Age of Collaborative Intelligence. Secure World. https://www.secureworld.io/industry-news/human-ai-teaming-age-collaboration. Diaskes 1 September 2025.
Comments :