Figure 1. Ilustrasi konstelasi satelit orbit rendah di sekitar Bumi (https://www.aboutamazon.com/what-we-do/devices-services/amazon-leo)

Bayangkan jika infrastruktur cloud tidak lagi berada di bangunan raksasa yang dipenuhi server, tetapi mengorbit di luar angkasa. Bayangkan komputasi yang tetap berjalan meski tidak ada menara BTS, tidak ada fiber optik, bahkan tidak ada jaringan darat sama sekali.

Gagasan futuristik itu kini mulai menjadi kenyataan melalui satellite computing, pendekatan baru yang memindahkan sebagian fungsi cloud ke jaringan satelit orbit rendah. Bagi dunia digital yang semakin mengandalkan AI real-time, IoT global, hingga layanan publik berbasis data, konsep “cloud di orbit” bukan lagi ide fiksi ilmiah melainkan langkah logis berikutnya.

 

Mengapa Cloud Sedang Bergerak ke Angkasa?

Selama puluhan tahun, internet bertumpu pada data center dan kabel bawah laut. Namun pola ini memiliki dua kelemahan besar:

  1. Tidak merata secara geografis: banyak wilayah terpencil masih minim akses.
  2. Tidak selalu Tangguh: bencana alam dapat menutup jaringan darat dalam hitungan menit.

Di sinilah satelit orbit rendah (Low Earth Orbit / LEO) menawarkan solusi. Karena berada dekat permukaan bumi, LEO memberikan:

  1. Latensi rendah (20–40 ms)
  2. Cakupan global tanpa infrastruktur lokal
  3. Redundansi antar-satelit lewat laser link

LEO bukan sekadar pengganti menara internet tetapi lapisan baru infrastruktur komputasi global.

Starlink, Kuiper, dan Lahirnya Cloud di Orbit

  1. Starlink (SpaceX)
    Dengan lebih dari 5.000 satelit aktif, Starlink menjadi pionir internet orbit rendah. Kini, mereka mulai mengeksplorasi kemampuan komputasi orbital, termasuk pemrosesan data di satelit dan koneksi laser antar-satelit. Teknologi ini membuka peluang baru bagi navigasi laut, penerbangan, hingga sistem darurat.
  2. Project Kuiper (Amazon)
    Amazon membawa ambisi yang lebih dekat ke dunia cloud: menjadikan satelit Kuiper sebagai perpanjangan dari AWS Edge. Imajinasi mereka sederhana namun revolusioner: “Layer berikutnya dari AWS akan berada di orbit.”

Jika berhasil, perusahaan logistik, riset iklim, dan layanan publik di wilayah terpencil dapat menjalankan komputasi edge langsung dari satelit tanpa bergantung pada data center darat.

 

Lapisan Infrastruktur Baru: Ground Station sebagai Jembatan Bumi–Orbit

Meski satelit mengorbit mandiri, mereka tetap membutuhkan jembatan komunikasi dengan bumi.
AWS menjalankan jaringan global Ground Station, titik-titik terpilih yang berfungsi menerima data satelit dan meneruskannya ke layanan cloud.

Figure 2. Lokasi global stasiun bumi AWS Ground Station (https://docs.aws.amazon.com/ground-station/latest/ug/aws-ground-station-antenna-locations.html)

Dengan distribusi dari Oregon hingga Bahrain, dari Stockholm hingga Singapore, ground station ini memungkinkan data dari satelit diproses ke AWS dalam hitungan detik.
Gabungan satelit laser ground station inilah yang membentuk fondasi cloud orbit rendah.

 

Keunggulan Utama Satellite Computing

  1. Edge Computing dari Mana Saja
    Sensor cuaca, kapal tanker, ladang tambang, hingga kapal riset di Samudra Pasifik dapat memproses data langsung via orbit tanpa menunggu jaringan darat.
  1. Infrastruktur Digital Tangguh
    Ketika gempa bumi, badai, atau banjir merusak jaringan fiber, satelit tetap beroperasi. Sangat penting untuk layanan publik dan kebencanaan.
  1. Latensi Global yang Konsisten
    Laser antar-satelit dapat mengirim data lebih cepat daripada kabel bawah laut untuk rute sangat jauh.
  1. Inklusivitas Teknologi
    Wilayah remote Papua, pedalaman Kalimantan, desa di Himalaya, hingga kapal ekspedisi dapat menikmati layanan digital setara kota besar.

Tantangan Teknologi: Tidak Semuanya Mulus

Beberapa tantangan yang masih harus dilewati:

  1. Daya terbatas karena hanya bergantung pada panel surya.
  2. Pendinginan sulit karena ruang angkasa tidak memiliki udara untuk konveksi.
  3. Radiasi kosmik dapat merusak chip.
  4. Biaya peluncuran & pemeliharaan masih tinggi.

Namun seperti halnya teknologi cloud, biaya satelit turun setiap tahun. Inovasi chip hemat daya dan desain tahan radiasi membuat komputasi orbital makin realistis.

Hubungannya dengan SDG 11: Kota yang Lebih Tangguh dan Inklusif

SDG 11 berbicara tentang kota yang berkelanjutan, aman, dan inklusif. Satellite computing mendukung visi tersebut dengan:

  1. Menyediakan akses digital untuk komunitas terpencil,
  2. Memperkuat ketahanan infrastruktur komunikasi,
  3. Membantu pemantauan kota (polusi, transportasi, banjir) secara real-time,
  4. Mendukung layanan public pendidikan, kesehatan, dan administrasi di wilayah yang sebelumnya tidak terjangkau.

Cloud di orbit membantu kota menjadi lebih cerdas, lebih kuat, dan lebih adil secara digital.

 

Refleksi Penutup: Masa Depan yang Mengorbit

Masa depan cloud tidak hanya berada di bangunan penuh server, tetapi juga berputar mengelilingi bumi, 16 kali sehari. Generasi baru developer mungkin suatu hari men-deploy aplikasi bukan hanya ke AWS Region, tetapi ke AWS Orbit Zone.

Pada akhirnya, satellite computing mengajak kita melihat teknologi dari sudut yang lebih luas bahwa inovasi tidak berhenti di darat, tetapi terus naik, menuju ruang angkasa. Karena teknologi yang baik bukan hanya cepat dan kuat tetapi juga menjangkau semua orang, di mana pun mereka berada.

 

Penulis

Emmanuel Daniel Widhiarto, S.Kom – FDP Scholar

Referensi

  1. Amazon. (2024). Amazon LEO Satellite Initiative. https://www.aboutamazon.com/what-we-do/devices-services/amazon-leo
  2. Amazon Web Services. (2024). AWS Ground Station Locations. https://docs.aws.amazon.com/ground-station/latest/ug/aws-ground-station-antenna-locations.html
  3. SpaceX. (2024). Starlink Mission Overview. https://www.spacex.com