Apakah AI Membuat Kita Lebih Pintar atau Malas? Bukti Neurosains dari Penggunaan ChatGPT pada Manusia
Apa yang Terjadi pada Otak Saat Menulis dengan ChatGPT?
Bayangkan jika Kamu diminta menulis esai, tetapi kali ini kamu punya pilihan, boleh menggunakan ChatGPT, boleh pakai Google, atau harus mengandalkan otak sendiri. Kira-kira, apa yang terjadi pada otakmu? Apakah ChatGPT benar-benar membuat kamu lebih pintar, atau justru membuat otakmu “malas bekerja”?
Studi terbaru dari MIT Media Lab https://arxiv.org/pdf/2506.08872 [Kosmyna et al., 2024] menggunakan teknologi EEG untuk mengukur aktivitas otak para mahasiswa saat menulis esai dengan tiga cara berbeda:
- Menggunakan ChatGPT (LLM group)
- Menggunakan search engine (Google, tanpa AI)
- Mengandalkan otak sendiri (Brain-only group)
(Sumber: https://arxiv.org/pdf/2506.08872) (Kosmyna et al., 2024)
Temuan Subjek Menggunakan ChatGPT, Menggunakan Otak dan Mesin Pencarian
Temuan utama:
- Menggunakan Pikiran Sendiri:
Saat menulis tanpa bantuan apa pun, konektivitas antar bagian otak paling tinggi, artinya otak bekerja lebih keras, lebih terlibat secara aktif, dan membangun banyak jalur berpikir baru. - Menggunakan Search Engine:
Konektivitas otak sedikit menurun, karena proses mencari dan memilah informasi tetap melatih memori dan fokus, tapi tidak seintensif menulis dari otak sendiri. - Menggunakan ChatGPT:
Aktivasi otak paling rendah dan konektivitasnya melemah. Otak menjadi lebih “pasif”, karena proses berpikir kritis, mengingat, dan menyusun argumen sebagian besar diambil alih oleh AI.
Peserta yang menggunakan ChatGPT paling sulit mengutip ulang isi esai yang baru saja mereka tulis. Kemampuan mengingat dan menjelaskan argumen sendiri menurun drastis dibanding yang menulis dengan otak sendiri atau Google. Pengguna ChatGPT melaporkan rasa memiliki terhadap tulisan mereka jauh lebih rendah. Sering kali merasa seperti hanya menyalin hasil AI, bukan benar-benar hasil refleksi dan pemikiran pribadi. Esai yang dibuat dengan ChatGPT cenderung lebih seragam dan “template”, kurang variasi, dan tidak mencerminkan keunikan cara berpikir masing-masing individu.
Apakah Generative AI membuat Manusia lebih “Malas”?
Studi ini menyebut fenomena ini dikenal juga dengan istilah cognitive debt.
Semakin sering kita mengandalkan AI seperti ChatGPT, otak kita “beradaptasi” untuk tidak bekerja keras antara lain :
- Kemampuan berpikir kritis dan reflektif bisa menurun
- Memori jangka pendek dan pengolahan informasi menjadi lebih lemah
- Lama-lama, manusia bisa semakin pasif dan cenderung malas berpikir mendalam jika selalu bergantung pada AI
Efek ini mirip dengan yang ditemukan pada Google Effect Gong, C., & Yang, Y. (2024) https://www.frontiersin.org/journals/public-health/articles/10.3389/fpubh.2024.1332030/full , kondisi dimana manusia memiliki kecenderungan untuk melupakan informasi yang dapat ditemukan dengan mudah menggunakan internet. Manusia cenderung tidak mengingat detail tertentu, karena meyakini dapat diakses dengan mudah dan cepat secara online
Bagaimana Cara Mengatasinya?
Bukan berarti kita harus menghindari AI sama sekali
Kunci utamanya adalah menjadikan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti otak:
- Kombinasikan proses berpikir mandiri, diskusi, dan refleksi sebelum dan sesudah memakai ChatGPT
- Latih diri untuk tetap menulis ide sendiri dulu, baru gunakan AI sebagai feedback
- Pendidikan dan riset perlu fokus pada active learning dan melatih cara berpikir kritis, bukan sekadar mengetahui jawaban dari pertanyaan
Penulis
Stefanus Benhard S.Kom., M.Kom (FDP Scholar)
Referensi
Comments :