Sumber: Dokumentasi Pribadi

Perjalanan dalam mengembangkan ChickSense berawal dari ide yang muncul setelah melihat sebuah video di media sosial tentang seorang peternak muda yang dengan bangga memperlihatkan peternakannya. Ide ini digagas oleh Gabriella Clairine dan Imerson Krysthio, mahasiswa Data Science Program, School of Computer Science, BINUS University.

Namun dibalik kebanggan itu, terlihat jelas kelelahan dan kecemasan yang ia rasakan terutama soal ketidakpastian apakah ayam-ayamnya akan tetap sehat hingga esok hari. Dari situ kami mulai menelusuri lebih dalam tentang industri peternakan unggas dimana kami menemukan kalau kontribusi peternakan unggas terhadap ekonomi Indonesia. Pada 2023, sektor ini telah menyumbang lebih dari Rp184 triliun ke PDB nasional dan menyediakan 71% pasokan daging  (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2023). Namun, dibalik angka besar itu, ada tantangan serius: penyakit menular seperti Newcastle Disease (ND) dan Chronic Respiratory Disease (CRD) yang dapat menyebabkan kerugian miliaran rupiah setiap tahun (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2024; Shane, n.d.; Sudiono & Budiyanto, 2018). Fakta-fakta inilah yang memotivasi kami untuk menciptakan solusi berbasis teknologi, bukan sekadar untuk berkompetisi tetapi untuk benar-benar memberikan dampak nyata bagi para peternak di lapangan.

Dari pemahaman terhadap masalah tersebut, lahirlah ChickSense, sebuah sistem pemantauan kesehatan ayam berbasis Artificial Intelligence (AI). ChickSense dirancang untuk mengatasi keterbatasan metode konvensional yang selama ini mengandalkan inspeksi visual manual yang lambat, subjektif, dan tidak mampu mendeteksi gejala subklinis. Sistem yang telah kami buat, memanfaatkan Computer Vision untuk menganalisis perilaku ayam melalui CCTV (Huneau-Salaün et al., 2021; Yoo et al., 2021), sekaligus Audio Analysis berbasis Convolutional Neural Network (CNN) untuk mengenali perubahan suara atau distress call yang menjadi indikasi awal penyakit pernapasan (Fernandes & Harash, 2024; Diyono & Muryani, 2018). Semua data ini terintegrasi dalam dashboard real-time yang menampilkan statistik kondisi ayam, lengkap dengan notifikasi otomatis via Telegram ketika sistem mendeteksi potensi masalah. Keunggulan ChickSense adalah skalabilitas dan objektivitasnya:  suatu sistem bisa memantau ribuan ayam sekaligus tanpa lelah, memberi deteksi dini sebelum gejala fisik terlihat. Dengan kata lain, kami berusaha menggantikan “mata dan telinga manusia” di kandang dengan kecerdasan buatan yang selalu siaga 24 jam.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Mengembangkan ChickSense untuk kompetisi tentu bukan perjalanan yang mudah. Tantangan terbesar kami adalah menggabungkan dua jenis analisis yang sangat berbeda video dan audio ke dalam satu sistem terpadu. Selain itu juga tantangan teknis, seperti komunikasi: bagaimana menyampaikan teknologi yang kompleks ini agar dapat dipahami dan diapresiasi oleh juri dari berbagai latar belakang. Kami melewati banyak malam panjang melakukan debugging, menguji data, dan menyiapkan demonstrasi yang stabil. Namun semua kerja keras itu terbayar saat hari penjurian telah tiba. Dimana juri terkesan dengan kemampuan sistem mendeteksi “ayam sakit” hanya dari perilaku dan suara menjadi momen yang tidak terlupakan. Saat pengumuman pemenang dan nama tim kami disebut sebagai Juara 2, rasanya campur aduk antara lega, bangga, dan terharu. Lebih dari sekedar kemenangan, kami belajar bahwa inovasi sejati bukan tentang teknologi paling canggih, tapi tentang seberapa besar solusi itu bisa menyentuh kehidupan nyata.

Chicksense dirancang untuk memberikan dampak nyata di tiga pilar utama: ekonomi, operasional, dan ketahanan pangan. Dari sisi ekonomi, sistem ini dapat membantu peternak mengurangi kerugian akibat kematian massal atau penurunan produktivitas ayam. Dengan deteksi dini, peternak bisa segera mengambil langkah pencegahan sebelum penyakit menyebar lebih luas, sehingga biaya perawatan dan risiko kerugian bisa ditekan. Dari sisi operasional, notifikasi real-time mengubah cara kerja peternak dari yang sebelumnya reaktif menjadi proaktif, mempercepat respons tanpa harus menunggu gejala fisik muncul. Sedangkan dari sisi ketahanan pangan, ChickSense berkontribusi menjaga kestabilan pasokan protein nasional dengan memastikan ayam tetap sehat dan produktif (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2022). Dengan ini kami percaya bahwa satu langkah kecil dalam menjaga kesehatan ayam, sejatinya adalah langkah besar dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia.

Tentu kemenangan ini bukan akhir perjalanan kami, melainkan awal dari visi yang lebih besar. Dalam jangka pendek, kami berencana memperluas dataset dan menguji ChickSense di lebih banyak peternakan untuk meningkatkan akurasi model. Dalam jangka menengah, kami akan mengintegrasikan sensor IoT seperti suhu dan kelembaban agar analisis kesehatan ayam lebih menyeluruh (Khaerunnisa, 2022). Dan dalam jangka panjang, kami ingin menjadikan ChickSense sebagai platform Software as a Service (Saas) yang tidak hanya mendeteksi masalah, tapi juga memberi rekomendasi tindakan otomatis bagi peternak. Keberhasilan ChickSense sebagai Juara 2 di ajang Datathon COMPFEST Universitas Indonesia 2025 serta kesempatan untuk dipamerkan pada event DGVeRS (Digital Government Vocational Roadshow) oleh Kominfo menjadi bukti nyata bahwa karya mahasiswa Data Science Program, BINUS University, tidak hanya inovatif, tetapi juga diakui di tingkat nasional. Pencapaian ini mencerminkan semangat “Data Science Program, BINUS University: Kolaboratif, Kompeten, dan Diakui Industri” — nilai yang terus kami bawa dalam setiap langkah inovasi. Bagi kami, perjalanan ini mengajarkan bahwa inovasi bukan milik mereka yang paling pintar, tapi milik mereka yang paling peduli dan berani mencoba. Jadi sebagai akhir kata buat teman-teman mahasiswa, pesan dari kami: jangan takut memulai dari hal kecil. Kadang, ide sederhana yang lahir dari empati bisa berkembang menjadi solusi besar yang mengubah hidup banyak orang. Karena pada akhirnya, inovasi bukan hanya soal teknologi tapi tentang menciptakan perubahan yang berarti.

 

Penulis: Imerson Krysthio, Mahasiswa Data Science Program

 

Referensi

  1. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. (2023). Outlook ayam ras pedaging 2023. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
  2. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2024). Buku statistik peternakan dan kesehatan hewan 2024. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
  3. Diyono, D., & Muryani, R. (2018). Deteksi penyakit Newcastle pada ayam dengan metode Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation. Jurnal Medik Veteriner, 1(2), 40-47. DOI: 10.20473/jmv.vol3.iss1.2020.108-113
  4. Fernandes, S., & Harash, A. (2024). Deep learning approaches for vocalisation-based health and welfare monitoring in poultry: A review. PeerJ, 12, e16723. https://doi.org/10.7717/peerj.16723
  5. Huneau-Salaün, A., et al. (2021). In pursuit of a better broiler: A comparison of the inactivity behavior and enrichment use of fast- and slower-growing broiler chickens. Poultry Science, 100(10), 101373. https://doi.org/10.1016/j.psj.2021.101373
  6. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2022). Statistik peternakan dan kesehatan hewan 2022.
  7. Khaerunnisa, I. (2022). Rancang bangun sistem monitoring suhu dan kelembaban kandang ayam broiler berbasis Internet of Things (IoT). Repository UPI. https://repository.upi.edu/135725/2/S_SISTEL_2101246_Chapter1.pdf
  8. Shane, S. (n.d.). Newcastle Disease (ND). Ceva Animal Health. https://poultry.ceva.us/accueil/key-diseases/nd/
  9. Sudiono, S., & Budiyanto, A. (2018). Penyakit-penyakit unggas yang sering menyerang peternakan di Indonesia. Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan Cinagara.
  10. Yoo, J., et al. (2021). A study on the effects of stocking density on animal welfare and productivity of broiler chickens. Annals of Animal Bioscience, 24(4), 678-685. https://doi.org/10.5713/ab.24.0678