Jadi Software Engineer Sukses: Masih Perlukah Kuliah di Era Bootcamp?

Figure 1. Makan malam bersama keluarga (sumber: pexels.com)
Percakapan di meja makan mungkin sudah berubah. Jika dulu orang tua menasihati anaknya agar rajin belajar untuk masuk universitas, kini sang anak mungkin menjawab, “Buat apa kuliah Informatika 4 tahun? Ikut bootcamp 3 bulan juga sudah bisa dapat kerja jadi programmer, gajinya besar lagi. Lihat saja di LinkedIn, banyak buktinya.”
Kalimat ini, atau variasinya, semakin sering kita dengar. Di tengah gempuran kisah sukses startup founder yang DO (Drop Out), programmer otodidak dengan gaji fantastis, dan menjamurnya coding bootcamp yang menjanjikan karier dalam hitungan bulan, pertanyaan ini menjadi sangat wajar: Apakah gelar sarjana Teknik Informatika, Ilmu Komputer, atau sejenisnya masih relevan? Jawaban atas pertanyaan ini jauh lebih dalam dari sekadar memilih antara ijazah atau portofolio. Ini adalah tentang fondasi apa yang ingin kita bangun untuk karier dan kehidupan.
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita lihat data. Menurut survei developer tahunan dari Stack Overflow, platform tanya-jawab terbesar bagi para programmer, mayoritas developer profesional di seluruh dunia adalah lulusan sarjana. Ini menunjukkan bahwa meskipun jalur alternatif semakin populer, pendidikan formal tetap menjadi rute utama menuju karier yang solid di bidang ini.

Figure 2. Survei latar bekakang pendidikan developer (sumber: stackoverflow.com)
Sprint vs. Maraton: Memahami Tujuan Pendidikan
Bootcamp adalah sprint yang sangat efektif. Kamu dilatih untuk menguasai “alat” spesifik agar cepat siap kerja. Ini adalah jalur yang valid untuk memasuki industri. Namun, seperti yang ditekankan oleh dr. Tirta dalam salah satu diskusinya, pendidikan tinggi seperti S1 adalah sebuah maraton. Tujuannya bukan sekadar mendapatkan skill, melainkan memperbaiki pola pikir.
Fondasi Tak Terlihat yang Dibangun di Bangku Kuliah
- Belajar “Ilmu”-nya, Bukan Sekadar “Alat”-nya
 
Bootcamp mengajarkan kamu cara mengendarai mobil. Kuliah mengajarkan kamu cara kerja mesin, transmisi, dan bahkan cara merancang mobil itu sendiri. Di kampus, kamu tidak hanya belajar coding, tapi juga Struktur Data & Algoritma. Kamu akan paham mengapa sebuah solusi teknis lebih efisien daripada yang lain—sebuah pemahaman yang membedakan coder dari software engineer sejati.
Pandangan ini diamini oleh para pemimpin industri. Gergely Orosz, penulis buletin “The Pragmatic Engineer”, berpendapat bahwa lulusan sarjana Ilmu Komputer seringkali memiliki keunggulan jangka panjang. Fondasi teori yang kuat membuat mereka lebih mudah beradaptasi dan naik ke jenjang karier strategis seperti Senior atau Principal Engineer yang membutuhkan pemikiran arsitektural.
- Memperbaiki Pola Pikir: Mengendalikan Ego & Ambisi
 
Inilah poin terpenting yang digarisbawahi dr. Tirta. Menurutnya, jika S1 mengajarkan “cara menghasilkan uang” atau skill teknis, maka pendidikan lanjutan adalah tentang “mengendalikan itu semua.” Tujuannya adalah membentuk pola pikir agar tidak diperbudak oleh tiga hal yang bisa menghancurkan manusia: ego, ambisi, dan mimpi.
- Mengendalikan Ego: Di dunia software engineering, seorang programmer jenius dengan ego yang tak terkendali bisa menjadi racun bagi tim. Pendidikan formal, dengan bertemu dosen dan teman-teman yang lebih pintar, akan meruntuhkan ego tersebut. Kamu sadar bahwa “orang pintar yang bisa cari uang itu bukan kamu doang.”
 - Mengelola Ambisi: Ambisi itu penting, tetapi ambisi yang lebih besar dari kapasitas diri akan membutakan. Pendidikan membantu kita mengukur kapasitas diri dan mengubah ambisi liar menjadi “cita-cita” yang terukur dan bisa dicapai.
 - Membedakan Mimpi dan Cita-Cita: Mimpi adalah harapan yang tak terbatas, sedangkan cita-cita adalah tujuan yang bisa diukur. Kuliah melatih kita untuk berpikir rasional, mengubah angan-angan menjadi rencana yang konkret.
 
- Belajar dari Guru, Bukan Sekadar Asumsi
 
“Jika kamu ngaji, belajarlah dengan guru. Jangan belajar sendiri, karena kamu bisa berasumsi,” ujar dr. Tirta. Hal ini sangat relevan. Belajar langsung dari dosen atau praktisi di kampus menghindarkan kita dari pemahaman yang salah atau tidak lengkap, sebuah risiko besar saat belajar sepenuhnya otodidak dari internet.
- Melatih Kemampuan ‘Deep Work’ dan Fokus
 
Selain itu, lingkungan akademis secara tidak langsung melatih sebuah ‘otot’ mental yang krusial. Cal Newport dalam bukunya “Deep Work” menjelaskan bahwa kemampuan untuk fokus secara mendalam pada satu tugas sulit adalah kunci kesuksesan. Proses belajar di universitas, yang menuntut mahasiswa untuk menyelami konsep-konsep rumit selama satu semester penuh, merupakan latihan sempurna untuk membangun kemampuan fokus ini—sebuah aset yang tak ternilai di dunia kerja yang penuh distraksi.
Jadi, perlukah kuliah untuk menjadi software engineer?
Jika tujuan kamu hanya mendapatkan pekerjaan pertama secepat mungkin, bootcamp mungkin cukup. Tapi jika kamu ingin membangun karier yang kokoh, adaptif, dan memiliki potensi menjadi pemimpin, maka fondasi dari bangku kuliah menjadi tak ternilai—sebuah investasi yang menurut berbagai survei gaji di Indonesia, seringkali berbanding lurus dengan potensi pendapatan jangka panjang. Pendidikan formal memberi kamu tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga kerendahan hati, kebijaksanaan untuk mengelola ego, dan pola pikir yang matang—aset terpenting untuk berlari dalam maraton panjang bernama karier.
Penulis: Pandu Wicaksono, S.Kom., M.Kom
Referensi:
- https://www.youtube.com/watch?v=qVgNdMvHvIQ – Kuliah S2 Buat Apa?
 - Newport, C. (2016). Deep Work: Rules for Focused Success in a Distracted World.
 - https://survey.stackoverflow.co/2024/
 - https://www.linkedin.com/posts/gergelyorosz_shortly-after-i-graduated-from-my-cs-program-activity-7258610583053242368-Ca2V/
 
 
Comments :