Serverless vs Traditional Backend: Siapa yang Sebenarnya Menang

Figure 1. Ilustrasi arsitektur serverless computing (https://www.geeksforgeeks.org/system-design/serverless-architectures/)
Bayangkan kamu sedang membangun aplikasi sederhana untuk tugas akhir. Dulu, kamu perlu menyewa server, mengatur konfigurasi, dan memastikan semuanya berjalan 24 jam. Tapi sekarang? Kamu bisa cukup menulis kode dan membiarkan platform seperti AWS Lambda atau Google Cloud Functions yang mengurus semuanya.
Inilah dunia serverless computing cara baru membangun backend tanpa harus memikirkan server. Tapi, apakah benar “tanpa server” berarti lebih baik dari backend tradisional yang selama ini jadi tulang punggung internet?
Apa Itu Backend Tradisional?
Sebelum era cloud-native, sebagian besar aplikasi bergantung pada server fisik atau virtual yang dikelola manual. Developer harus:
- Mengatur sistem operasi dan dependensi.
- Menangani skalabilitas secara manual.
- Menjaga uptime dan patch keamanan.
Contohnya, aplikasi e-commerce besar mungkin menggunakan stack seperti Node.js + Express di atas server EC2 atau VPS. Model ini memberi kendali penuh, tapi juga tanggung jawab penuh. Ketika traffic melonjak, developer harus menambah kapasitas secara manual atau membuat load balancer baru.
Meski terlihat konvensional, pendekatan ini masih banyak digunakan karena:
- Stabil dan dapat diprediksi.
- Memberi kontrol penuh terhadap performa dan keamanan.
- Tidak tergantung vendor cloud tertentu.
Lahirnya Era Serverless
Serverless bukan berarti tidak ada server tapi developer tidak perlu mengelolanya langsung. Infrastruktur disembunyikan di balik layanan cloud yang otomatis menyesuaikan kebutuhan aplikasi.
Platform populer seperti:
- AWS Lambda
- Google Cloud Functions
- Azure Functions
- Cloudflare Workers
memberikan cara baru menulis kode berbasis event-driven: fungsi hanya berjalan saat dibutuhkan, lalu berhenti kembali.
Keuntungan serverless meliputi:
- Tanpa provisioning: cukup tulis kode dan deploy.
- Skalabilitas otomatis: sistem menyesuaikan traffic secara dinamis.
- Biaya efisien: bayar hanya saat fungsi dijalankan.
Namun, ia juga punya kelemahan seperti cold start delay, serta ketergantungan tinggi pada vendor lock-in jika ingin pindah platform.

Figure 2. Perbandingan arsitektur Serverless dan Traditional Backend
(https://controlplane.com/community-blog/post/erverless-vs-containers)
Gambar di atas menunjukkan bagaimana perbedaan mendasar antara dua paradigma backend. Pada arsitektur traditional, satu aplikasi berjalan di satu server dengan beban kerja konstan dan struktur yang relatif kaku. Sebaliknya, pada arsitektur serverless, fungsi-fungsi kecil dijalankan secara independen di berbagai server cloud sesuai kebutuhan. Setiap fungsi bisa hidup dan mati sesuai event yang memicu membuat sistem jauh lebih fleksibel, ringan, dan mudah diskalakan.
Traditional vs Serverless: Siapa yang Unggul?
Table 1. Perbandingan Traditional vs Serverless Backend
| Aspek | Traditional Backend | Serverless Backend |
| Manajemen Server | Dikelola manual | Otomatis oleh provider |
| Skalabilitas | Vertikal / manual | Otomatis & elastis |
| Biaya Operasional | Tetap, berdasarkan kapasitas server | Dinamis, berdasarkan penggunaan |
| Kontrol & Kustomisasi | Tinggi | Terbatas oleh platform |
| Kecepatan Deploy | Relatif lambat | Cepat dan otomatis |
| Kesesuaian | Aplikasi besar & kompleks | Aplikasi ringan & event-based |
Backend tradisional tetap unggul untuk sistem besar, stateful, atau dengan kebutuhan khusus, sementara serverless cocok untuk aplikasi modern, cepat, dan fleksibel seperti chatbot, API ringan, dan sistem event-driven.
Contoh Nyata di Dunia Industri
- Netflix memakai arsitektur campuran: microservices utama di server tradisional, sementara fungsi analitik dan pemrosesan data berjalan di AWS Lambda.
- Airbnb memanfaatkan serverless untuk analitik internal yang skalanya fluktuatif.
- Vercel dan Netlify membangun seluruh platformnya di atas konsep serverless deployment.
Bagi mahasiswa atau startup, model ini sangat menarik. Kamu bisa membangun backend tanpa investasi besar pada server, cukup dengan beberapa fungsi di cloud langsung jalan, bisa di scale, dan hemat biaya.
Masa Depan: Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Serverless dan backend tradisional bukan dua kubu yang saling meniadakan, melainkan dua pendekatan yang saling melengkapi. Banyak perusahaan kini menggunakan model hybrid: server tradisional untuk sistem inti, dan serverless untuk fungsi pendukung seperti logging, notifikasi, atau integrasi API eksternal.
Teknologi selalu berevolusi, dan pertanyaan “siapa yang menang” sebenarnya bukan soal teknologi mana yang paling baru melainkan siapa yang paling adaptif.
Karena pada akhirnya, pemenang sejati bukan serverless atau backend tradisional, tapi developer yang mampu memilih kombinasi terbaik untuk masalah yang dihadapi.
Penulis:
Emmanuel Daniel Widhiarto, S.Kom – FDP Scholar
Referensi
AWS. (2024). What is Serverless Computing? https://aws.amazon.com/serverless/
Cloudflare. (2024). Introduction to Workers. https://developers.cloudflare.com/workers/
Red Hat. (2023). Comparing Serverless and Traditional Architectures. https://www.redhat.com/en/topics/cloud-native-apps/what-is-serverless
GeeksforGeeks. (2024). Serverless Architectures – System Design. https://www.geeksforgeeks.org/system-design/serverless-architectures/
ControlPlane. (2024). Serverless vs Containers: Understanding the Trade-offs. https://controlplane.com/community-blog/post/erverless-vs-containers
Comments :